Pelaku, seorang warga negara Australia, menyiarkan langsung sebagian serangan tersebut di media sosial, yang menimbulkan kekhawatiran tentang penyebaran konten ekstremis secara online. Setelah tragedi itu, pemerintah Selandia Baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Jacinda Ardern, mengambil tindakan cepat untuk mereformasi undang-undang senjata, termasuk melarang senjata semi-otomatis dan magazen berkapasitas besar.
Serangan ini dikecam secara luas di seluruh dunia dan memicu percakapan global tentang Islamofobia, ekstremisme, dan peran media sosial dalam menyebarkan kebencian. Tanggapan terhadap tragedi ini menekankan persatuan, dengan rakyat Selandia Baru menunjukkan solidaritas kepada komunitas Muslim.
Latar belakang penyerangan Christchurch didorong oleh ideologi ekstremisme sayap kanan yang dipenuhi dengan supremasi kulit putih, xenofobia, dan Islamofobia. Pelaku serangan, Brenton Tarrant, seorang warga negara Australia, terpengaruh oleh ideologi yang menolak keberadaan imigran dan Muslim di negara-negara Barat. Sebelum melakukan serangan, Tarrant menulis sebuah manifesto berjudul "The Great Replacement", di mana ia menyatakan kekhawatirannya terhadap apa yang ia sebut sebagai "penggantian" ras kulit putih oleh imigran non-Eropa, terutama Muslim. Konsep ini berasal dari teori konspirasi yang sering dipromosikan oleh kelompok-kelompok nasionalis ekstremis di seluruh dunia.
Ideologi supremasi kulit putih yang dianut oleh Tarrant mencerminkan kebencian terhadap komunitas Muslim dan minoritas lainnya yang dianggap sebagai ancaman terhadap "kemurnian" budaya dan ras di negara-negara Barat. Manifesto yang ia sebarkan berisi retorika kebencian dan mengacu pada serangan terorisme serupa di berbagai belahan dunia, yang ia klaim sebagai inspirasinya. Serangan seperti yang dilakukan oleh Anders Breivik, seorang ekstremis sayap kanan yang bertanggung jawab atas pembantaian di Norwegia pada 2011, sering kali diidolakan oleh pelaku seperti Tarrant.
Selain itu, Tarrant melakukan radikalisasi secara daring melalui forum-forum ekstremis dan media sosial, di mana konten-konten kebencian terhadap Muslim dan imigran tersebar luas. Media sosial berperan dalam memperkuat dan menyebarluaskan ide-ide ini di kalangan para ekstremis, yang pada akhirnya mendorong tindakan kekerasan.
Motivasi utama di balik serangan tersebut adalah untuk memicu ketakutan dan perpecahan di masyarakat, dengan harapan memicu lebih banyak kekerasan berdasarkan ras dan agama. Tarrant memilih menargetkan komunitas Muslim di Christchurch sebagai bagian dari kampanye global melawan imigrasi dan Islam, yang ia anggap sebagai "invasi" ke dunia Barat.
Serangan ini menjadi salah satu contoh paling nyata dari bahaya yang ditimbulkan oleh radikalisasi online dan penyebaran ideologi kebencian yang tak terkendali. Hal ini menyoroti pentingnya menangani ancaman dari ekstremisme domestik yang berkembang di platform digital dan komunitas radikal di internet.
Brenton Tarrant, pelaku penembakan Christchurch, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat pada 27 Agustus 2020. Ini adalah hukuman paling berat dalam sejarah hukum Selandia Baru dan pertama kalinya hukuman penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat diterapkan di negara tersebut.
Tarrant mengaku bersalah atas 51 tuduhan pembunuhan, 40 tuduhan percobaan pembunuhan, dan satu tuduhan melakukan tindakan terorisme. Pengakuan bersalahnya diberikan pada bulan Maret 2020, tepat sebelum persidangan dimulai, yang mencegah kebutuhan untuk melalui proses pengadilan yang panjang dan menyakitkan bagi para korban dan keluarga mereka.
Dalam persidangan, hakim menggambarkan tindakannya sebagai sangat keji dan tidak manusiawi, dengan menyatakan bahwa pelaku menunjukkan sedikit penyesalan atas perbuatannya. Tarrant mengungkapkan motifnya didorong oleh kebencian rasis dan ekstremis, serta niat untuk menimbulkan teror di kalangan masyarakat Muslim dan menciptakan perpecahan.
Hukuman ini mencerminkan tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan dan juga pesan dari pengadilan bahwa tindakan kebencian seperti ini tidak akan ditoleransi di Selandia Baru. Perdana Menteri Jacinda Ardern dan masyarakat internasional menyambut baik hukuman tersebut, dengan menyatakan bahwa keadilan telah ditegakkan untuk para korban dan keluarga mereka.
Selain hukuman penjara, kasus ini juga memicu perdebatan yang lebih luas tentang perlunya regulasi ketat terhadap penyebaran ideologi kebencian, terutama di platform digital, serta pentingnya meningkatkan keamanan dan perlindungan bagi komunitas minoritas dari ancaman terorisme domestik.
Peringatan ! Jangan ditiru tindakan/perilaku yang tidak di benarkan tersebut.
PERINGATAN! (konten grafis 18+)
Berikut Rekaman Videonya :
36 komentar
'Dan balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya di sisi Allah.' (QS. As-Syura: 40)
Kita harus ingat, kekerasan yang dilakukan oleh oknum tertentu tidak bisa digeneralisasi sebagai perbuatan agama tersebut. Setiap agama mengajarkan kedamaian. Jadi, jangan terjebak dalam kebencian yang hanya akan memperburuk keadaan. Kita sebagai umat Islam harus tetap menjaga akhlak dan kedamaian.